Boleh jadi, Rabu (17/8) kemarin adalah hari menyebalkan buat saya. Bukan karena "dipaksa" hadir pagi-pagi untuk mengikuti upacara 17 Agustusan. Tapi ini tentang seorang pemimpin plin-plan yang membuat semua rencana menjadi buyar.
Ini bermula pada awal Juni lalu, ketika seorang pimpinan di lembaga tempat saya kursus mengatakan tidak ada libur saat lebaran. Alasannya, biasanya anak baru "diberdayakan" untuk liputan lebaran. Jadi, katanya, jangan beli tiket dahulu.
Selama beberapa bulan hingga menjelang puasa, kami pun hidup dengan ketidakpastian. Antara libur atau tidak.
Begitu juga, ketika beliau yang terhormat itu masuk ke kelas. Dan dengan seyakin-yakinnya mengatakan tidak ada libur lebaran. Alasannya, pada 25 Agustus mendatang, kursus berakhir dan kami akan dipindahkan ke redaksi.
Baiklah, dengan sepenuh hati saya terima keputusan ini. Saya pun memutar otak, terbayang wajah emak saya sendirian di rumah saat lebaran, karena abang dan adik pastinya ngelayap.
Akhirnya, saya sampaikan ide gila pada abang saya. Saya bilang, sebaiknya emak lebaran di Jakarta saja, sekalian berobat dan jalan2. Walau dengan berat hati abang saya pun mengizinkannya.
Diputuskan, emak saya berangkat pada Rabu (17/8) sore. Saya akan jemputnya di bandara usai upacara.
Nah, kesebalan saya muncul usai upacara 17 Agustusan, ketika pemimpin saya yang terhormat dengan bangganya mengatakan ada LIBUR LEBARAN!!!
Damn, sumpah saya tak tahu lagi berkata apa2. Ibaratnya, saya udah masuk ke rencana B, tapi kondisi mengizinkannya untuk melaksanakan rencana A.
Sepanjang hari saya menggerutu sikap dia yang plin plan. Andai saja, pemimpin yang terhormat itu memperjuangkannya sejak awal, pasti rencana yang disusun sejak jauh2 hari...
Sungguh saya heran dengan sikapnya. Katanya jurnalis senior, tapi perencanaannya amat buruk. Bagaimana mungkin seorang jurnalis tanpa rencana?
Dan celakanya lagi, saya masih sebal ma dia hingga tulisan ini diposting. Imej pimpinan yg selama ini buruk, jadi semakin buruk. WTH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar