Saya bisa memahami bagaimana perasaan masyarakat Papua akan Pemerintah Indonesia. Yah, pemerintah yang berpusat di Jakarta itu.
Siapa yang tak miris hatinya melihat kekayaan alam yang dimiliki mereka diangkut ke pusat dan hanya dinikmati segelintir orang. Sementara mereka hidup dalam kemiskinan.
Bagaimana gunung yang dianggap ibu bagi mereka, diratakan dengan tanah. Belum lagi dengan kekayaan alam lainnya.
Sementara mereka hidup dalam kemiskinan, pendidikan yang terlupakan maupun bergelut dengan AIDS, yang dicap sebagian orang sebagai cara untuk memusnahkan orang Papua.
Saya juga memahami keinginan mereka untuk melawan? Tapi apa daya, mereka dianggap separatis yang menginginkan kemerdekaan. Padahal mereka adalah orang-orang yang bermental pejuang.
Saat ini saja, belasan ribu tentara diterjunkan ke Papua. Tentu saja dengan alasan memberantas separatisme.
Pemerintah daerah dibujuk rayu dengan diberikannya otsus. Jatah 30 persen dari kekayaan alam mereka itu akhirnya masuk ke kantong-kantong pejabat yang korup.
Kejadian seperti ini tak hanya terjadi di Papua. Hampir terjadi di seluruh Indonesia, khususnya yang kaya akan sumber daya alam.
Saya masih ingat, ketika menemani teman dari Aceh berkunjung ke Monas tiga tahun lalu. Dengan nanar, ia menatap emas yang ada di puncak bangunan itu.
"Itu, asal kamu tahu itu kepunyaan orang Aceh," kata dia.Aceh, yah Aceh. Sepanjang hayatnya, orang Aceh berjuang untuk kemerdekaan republik ini. Tapi begitu merdeka, dengan seenaknya semua kekayaan alam dikeruk dan dibawa ke Jakarta.
Orang Aceh bermental pejuang, mereka tak pernah rela membiarkan hal itu. Hingga kemudian tercetus Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai bentuk kekecewaan terhadap Indonesia.
Tapi lagi-lagi, pemerintah Indonesia nan cerdas itu menanggapinya dengan operasi militer.
Begitu juga dengan kampung halaman saya, Riau. Riau yang kaya akan sumber daya alam tapi miskin sumber daya manusia.
Milyaran barel minyak dikeruk dari bumi lancang kuning, tapi masih banyak penduduknya yang hidup dalam kemiskinan.
Ratusan izin pengelolaan hutan digelontorkan, tapi tak satupun nikmat yang didapat. Hanya ada sengsara.
Riau kini, berbeda dengan Riau 20 tahun lalu. Tandus dan rawan bencana alam. Sepanjang tahun, bencana alam silih berganti. Banjir datang di musim hujan dan kabut asap dikala musim kemarau.
Infrastruktur layaknya jalan tak memadai. Pendidikan pun kurang diperhatikan.
Sayang Riau, orang-orangnya tak bermental pejuang seperti Aceh dan Papua. Mereka memilih diam dan bungkam. Apalagi jika sudah diberi jabatan.
Saya miris setiap datang ke ibu kota Indonesia, Jakarta. Melihat bangunan gedung pemerintahan nan megah, jalan-jalan layang yang kokoh dan fasilitas pendidikan yang memadai.
Saya semakin yakin, kalau kata Indonesia itu bukan dari Sabang sampai Merauke tapi hanya ada di Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar