Saya harus berbahagia, beban selama beberapa tahun akhirnya lepas. Tak ada yang mengharap saya harus kembali padanya. Tak ada lagi yang perlu saya khawatirkan.
Dia telah bangun dan melanjutkan hidup. Dia bangkit, menatap masa depan dan berbahagia dengan pujaan hatinya. Saya pun harus berbahagia. Tak ada alasan saya harus kecewa.
Toh, dulu saya yang meninggalkan dia dan memilih menikah dengan lelaki lain. Membiarkannya terpuruk meski sebenarnya saya punya alasan untuk itu, lelaki tanpa keberanian sama dengan pengecut. Dia tak berani menikahi saya karena alasan keuangan plus pekerjaan dan saya punya seribu alasan untuk tidak bersama.
Pada akhirnya, dia mengabari saya akan menuju pelaminan. Saya lah orang pertama yang harus mengucapkan selamat, karena keberaniannya menikah meski tak punya cukup modal, tapi sekarang punya pekerjaan. Saya juga harus mengucapkan selamat, karena kecantikan istrinya yang setara dengan bidadari.
Benar, tak ada kesedihan. Semua harus dirayakan, apalagi pernikahan yang hanya berlaku sekali seumur hidup. Selamat...
Dia telah bangun dan melanjutkan hidup. Dia bangkit, menatap masa depan dan berbahagia dengan pujaan hatinya. Saya pun harus berbahagia. Tak ada alasan saya harus kecewa.
Toh, dulu saya yang meninggalkan dia dan memilih menikah dengan lelaki lain. Membiarkannya terpuruk meski sebenarnya saya punya alasan untuk itu, lelaki tanpa keberanian sama dengan pengecut. Dia tak berani menikahi saya karena alasan keuangan plus pekerjaan dan saya punya seribu alasan untuk tidak bersama.
Pada akhirnya, dia mengabari saya akan menuju pelaminan. Saya lah orang pertama yang harus mengucapkan selamat, karena keberaniannya menikah meski tak punya cukup modal, tapi sekarang punya pekerjaan. Saya juga harus mengucapkan selamat, karena kecantikan istrinya yang setara dengan bidadari.
Benar, tak ada kesedihan. Semua harus dirayakan, apalagi pernikahan yang hanya berlaku sekali seumur hidup. Selamat...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar