masakan sumber : google |
Tapi ada juga sebagian pendapat, yang menyatakan makanan enak tersebut bisa didapatkan di mana saja dan dimasak oleh siapa saja, tanpa harus ke restoran mewah.
Seiring meningkatnya pendapatan masyarakat, penikmat wisata kuliner rela mengorbankan waktu dan uangnya untuk mendapatkan masakan nan lezat. Bahkan tak jarang mereka ke luar kota berburu makanan yang memanjakan lidah.
Seorang karyawan swasta di Jakarta, Setiawan (30), berpendapat makanan lezat itu adalah makanan yang dimasak oleh istrinya.
"Makanan lezat bagi saya ada di rumah, buatan istri," kata Setiawan mantap.
Meski istrinya wanita karir, namun masih menyempatkan diri memasak.
Setiawan menyebut beberapa menu tradisional yang menjadi kegemarannya seperti tempe penyet dan sayur asem.
Kalau sudah bertemu kedua menu itu, nafsu makan Setiawan bertambah-tambah.
Lain halnya dengan mahasiswi asal Sumatera Barat, Ina Noviyanti (20), yang menyukai masakan yang dibuat oleh ibunya.
"Masakan paling enak sedunia itu masakan 'emak' (ibu). 'Enggak' ada yang bisa 'nandingin'," cetus mahasiswi jurusan Sastra Jepang itu.
Seperti rasa makanan dari daerah asalnya, Ina sangat menyukai makanan pedas dan berbumbu.
Ina juga berpendapat apa yang dimakan mencerminkan siapa dirinya.
Penelitian dari Universitas Pennsylvania Amerika Serikat menyebutkan orang yang menyukai makanan pedas adalah orang-orang yang berani mengambil risiko.
Sementara, penyuka makanan manis mudah berkompromi dan menyetujui suatu pendapat.
Para penyuka makanan asin dan gurih mempunyai tipe kepribadian yang santai. Penyuka rasa asin dan manis adalah penyendiri. Terakhir penyuka rasa pahit mempunyai hubungan erat dengan ketegasan dalam mengambil keputusan.
Dari Hati
Sebenarnya apa sih rahasia membuat makanan yang lezat tersebut. Finalis Junior Master Chef Indonesia Latrevo (12) atau Revo membeberkan rahasianya agar masyarakat bisa memasak makanan lezat.
"Kuncinya adalah pilihan bumbu dan bahan baku yang segar dan suasana hati," ujar Revo.
Ya suasana hati. Suasana hati sangat memengaruhi masakan seseorang. Baginya jika suasana hatinya kurang enak, maka masakan yang dihasilkan juga kurang enak.
"Mending 'enggak' usah masak deh," ujar pelajar SMP swasta di Jakarta itu.
Meskipun demikian, pihaknya berupaya untuk tetap profesional dan memasak dengan maksimal dalam setiap kesempatan. Revo mengibaratkan memasak itu sebagai sesuatu yang menyenangkan meskipun diidentikkan dengan perempuan.
"Memasak itu sangat menyenangkan. Kita bisa mengeksplorasi bumbu-bumbu dalam masakan kita."
Revo memulai masak sejak berumur delapan tahun. Masakan pertama yang dimasaknya adalah kue dadar atau "pancake".
Ketertarikannya pada dunia masak-memasak ditularkan dari neneknya yang hobi memasak.Sejak saat itu, Revo rajin memasak dan kerap membagikan masakannya ke teman-temannya di sekolah.
"Paling senang kalau dipuji teman-teman di sekolah," katanya bangga.
Pakar tata boga Tanah Air, Sisca Soewitomo, menjelaskan suasana hati sangat memengaruhi hasil masakan karena memasak tidak hanya menyatukan bahan-bahan tetapi emosional pembuatnya.
"Contohnya ketika seseorang memasak dengan hati riang gembira, sementara yang lain memasak dengan suasana hati tak menentu. Bisa dipastikan rasa masakan yang dimasak dengan suasana hati riang gembira lebih enak," jelas Sisca.
Memasak itu, sambung Sisca, merupakan hal yang gampang asalkan memasak dengan hati riang gembira. Perempuan yang sering muncul di layar kaca itu menyarankan agar rasa makanan lezat, lebih baik tenangkan dulu hati sebelum memasak.
"Bisa dengan melakukan apa saja untuk menenangkan hati ketika sedang memasak. Seperti menyetel lagu favorit, sambil menonton acara televisi dan lain sebagainya."
Saking pentingnya suasana hati. Maka ada anggapan yang menyebutkan bahwa keahlian memasak hanya berpengaruh 10 persen, sisanya adalah suasana hati, maka jangan memasak saat hati tidak baik.
Modernisasi
Tapi sayangnya, arus modernisasi telah memicu tumbuhnya stigma baru, terutama di kalangan para wanita karir yang memandang bahwa memasak itu merepotkan
Para remaja dan perempuan usia muda di sebagian kota besar Indonesia, cenderung mengaku tidak memiliki kemampuan memasak dan memandang memasak bukan sesuatu yang wajib untuk dipelajari.
Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2014 menyebutkan jumlah pekerja perempuan di kota besar seperti Jakarta mencapai 1.759.740 orang atau sekitar 33,85 persen dari total keseluruhan pekerja di Jakarta.
"Kondisi tersebut juga turut memicu penurunan hasrat serta budaya memasak pada generasi saat ini," kata Kepala Pemasaran PT Anggana Catur Prima selaku pemegang merk Koepoe-Koepoe, Achmad Fachrur Rivai.
Dampaknya, aktivitas memasak secara perlahan kini mulai ditinggalkan oleh para perempuan modern yang lebih memilih bekerja.
"Memasak bukan sekadar makanan enak dan menyatukan bahan-bahan. Tapi, memasak itu merupakan interaksi antara juru masak kepada si penikmat masakan tersebut," jelas lelaki yang akrab disapa Alul itu.
Lewat masakan yang dibuat juru masak kepada orang terkasih, mereka akan merasa puas apabila masakan yang dibuatnya mendapatkan apresiasi dari si penikmat masakan.
Penikmat masakan pun akan senang ketika dibuatkan sebuah masakan istimewa dari si juru masak yang disajikan spesial.
Koepoe-Koepoe menghadirkan inspirasi guna menumbuhkan kembali hasrat memasak di tengah kesibukan para wanita modern, melalui kampanye "Curhatan Rasa".
Koepoe-Koepoe mencoba membuka tabir di balik aktivitas memasak, dan menggali makna dari setiap sajian masakan. Kampanye itu akan giat disampaikan ke masyarakat dalam bentuk video testimoni juru masak dan penikmat melalui media digital.
Selain itu, mereka juga akan meminta testimoni dari pengunjung beberapa mal mengenai makanan kesukaannya.
"Memasak memiliki manfaat yang besar. Selain karena menyenangkan, aktivitas memasak kini menjadi gaya hidup yang bisa dilakukan oleh siapa pun, kapan pun dan di mana pun," kata Alul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar