batik sumber google |
Di Pekalongan, baik kotamadya dan kabupaten dapat dengan mudah ditemukan kampung-kampung batik yang kini menjadi wilayah tujuan wisata misalnya di Kota Pekalongan ada kampung batik Kauman, Kemplong hingga Pesindon.
Batik telah menjadi napas dan mata pencaharian masyarakat Pekalongan sejak lama.
Motif batik khas Pekalongan cukup unik dan banyak dipengaruhi interaksi masyarakatnya dengan berbagai bangsa seperti Arab, Tiongkok, India, Jepang hingga Belanda.
"Pemerintah dan masyarakat senantiasa berupaya melestarikan batik dari masa ke masa," ujar Wali Kota Pekalongan Muhammad Basyir Ahmad.
Apalagi sejak batik Indonesia diakui UNESCO dengan dimasukkan ke dalam daftar warisan budaya tak benda, semakin mengokohkan Pekalongan sebagai Kota Batik.
Dengan pengakuan UNESCO itu, omset pengusaha batik sempat meroket hingga 300 persen.
Sang Wali Kota yang menjabat untuk dua periode itu mengatakan batik adalah hidup dan menghidupi masyarakat Pekalongan.
"Pertumbuhan ekonomi kami pada 2014 sebesar 5,9 persen. Sebagian besar disumbang oleh industri kreatif," ujarnya.
Meski demikian, bak pedang bermata dua, batik memiliki sisi positif dan negatif.
Positif, karena batik menghidupi masyarakat dan negatifnya adalah pencemaran lingkungan akibat limbah tekstil.
Ekosistem sungai di Pekalongan saat ini rusak parah oleh ribuan unit usaha batik kecil dan menengah tersebar di 16 sentra batik yang menyumbang sekitar 1.539 meter kubik limbah cair setiap harinya.
"Sungai-sungai kami keruh dan kotor," kata Basyir.
Basyir merujuk salah satu sungai besar di Pekalongan yakni Kali Loji yang menghitam akibat limbah.
Padahal sejak beberapa tahun lalu, Pemkot Pekalongan memberi sanksi tegas kepada pengusaha nakal yang membuang limbah ke sungai.
Pemkot Pekalongan juga berupaya agar para pelaku usaha batik membuat Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sederhana.
"Memang di Pekalongan ada mitos, sungai yang berwarna karena limbah batik pertanda masyarakat sejahtera. Apalagi ketika mau Lebaran, sungai keruh pertanda rezeki melimpah," cerita Basyir yang juga seorang dokter itu.
Pada awal April 2015, Pekalongan bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam memecahkan persoalan limbah di Pekalongan tersebut.
"Kami meminta bantuan pada LIPI untuk menjernihkan sungai-sungai kami," cetus dia.
Kepala LIPI Iskandar Zulkarnain menjelaskan kerja sama tersebut meliputi beberapa aspek yakni penelitian dan penerapan teknologi serta sumber daya manusia.
"Kami akan melakukan kajian terlebih dahulu untuk menentukan metode mana yang cocok untuk limbah batik," jelas Iskandar.
Metode Pengolahan
Pengolahan limbah batik dapat dilakukan dengan berbagai metode seperti kimia-biologi, enzimatik dan fisika kimia.
Dalam limbah batik terdapat zat berbahaya bagi lingkungan seperti pewarna, krom, hingga timbal.
Peneliti LIPI Happy Sembiring mengatakan pengolahan berarti memisahkan antara logam berat dan air.
Pengolahan limbah cair di Pekalongan, lanjut Happy, bisa dilakukan dengan teknik pengolahan limbah menggunakan metode kimia-biologi melalui aplikasi "Material Preservasi Mikroorganisme" (MPMO).
"Dengan metode ini, air bisa jernih lagi. Tapi tidak untuk diminum," kata Happy.
Sebelumnya, teknik tersebut berhasil diterapkan pada perusahaan tekstil PT Sivatex dengan jumlah limbah cair 500 meter kubik perhari.
Metode MPMO dengan menggunakan tablet yang mengandung 2,3 juta mikroorganisme dalam setiap tabletnya.
Mikroorganisme tersebut akan mendegradasi unsur penyusun limbah dimana proses pengolahan limbah dengan itu memakan waktu hingga empat hari.
Diperkirakan akan diperlukan 200 kilogram tablet untuk mengolah 1.000 meter kubik limbah cair.
Metode kimia dan biologi disarankan untuk digunakan karena lebih murah dibandingkan dengan cara kimia dan fisika.
Peneliti LIPI lainnya Dede Heri Yuli Yanto juga menyebutkan pengolahan limbah bisa dilakukan dengan metode enzimatik.
Metode itu memungkinkan penghilangan warna limbah batik dengan sangat cepat dan dapat digunakan untuk kapasitas volume besar.
Metode itu menggunakan sistem enzim dan mikroba tertentu yang ditempatkan di dalam bioreaktor.
Dede menjelaskan limbah batik dialirkan ke dalam bioreaktor dengan laju alir tertentu sehingga hanya dalam hitungan jam pewarna tertentu sudah dapat terdegradasi secara sempurna.
Sistem mikroba dan enzim tersebut mampu secara efektif menguraikan ikatan azo pada limbah batik.
Sementara itu, Peneliti Pusat Penelitian Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr Ignasius DA Sutapa MSc mengatakan kombinasi proses fisika dan kimia dalam pengolahan limbah cair dapat meningkatkan efisiensi.
"Pengolahan limbah terbagi tiga yakni fisika, kimia dan biologi. Proses biologi pada akhir pengolahan limbah, setelah melewati proses fisika dan kimia," ujar Ignasius.
Ignasius menjelaskan pada limbah cair industri batik terkandung dua pewarna yakni pewarna alami dan pewarna sintesis.
Pewarna alami berasal dari tumbuhan (berasal dari akar, batang, daun, dan bunga) dan proses fiksasi (berasal dari gula aren, gula batu, borax, air kapur dan lain-lain).
Sementara pewarna sintesis terdiri atas hidrokarbon aromatik, naftalena, naphtol, indigosol dan reaktif. Juga ditambah fiksasi yakni garam metal dan diazonium.
Ignasius menjelaskan teknologi "nanobubble" yang menggabungkan proses fisika dan kimia dapat dijadikan alternatif pengolahan yang ada dan terbukti meningkatkan efisiensi.
"Dengan teknologi ini, dapat mempercepat proses pengambangan minyak dan oli, kemudian meningkatkan efisiensi pembuangan zat warna, oksidasi logam berat menjadi logam hidroksida, mengurangi penggunaan koagulan sebagai pembentuk fluk, dan suplai kebutuhan oksigen mikroorganisme untuk proses biologis," papar Ignasius.
Pengolahan limbah batik, lanjut Ignasius, dapat meningkat nilai jual batik Pekalongan di mata internasional dan menjaga lingkungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar