Perempuan,
Meski saya berjenis kelamin perempuan terkadang saya merasa jengah juga dengan makhluk bernama perempuan. Makanya saya tidak menikah dengan perempuan, tetapi lelaki. hehe
Sebenarnya ini ungkapan kekecewaan saya, terhadap sahabat saya yang menggugat cerai suaminya. Sebut saja namanya Melati. Melati sudah menikah dengan suaminya sejak 2013. Lumayan lama, sudah punya rumah di kota asalnya dan juga kendaraan. Bisa dikatakan akar muasalnya perceraiannya karena masalah ekonomi. Yah masalah ekonomi. Si perempuan merasa lelah menjadi tulang punggung, sementara si lelaki enak-enak saja berada di kontrakan tidur-tiduran dan kemudian marah-marah. Perbedaan etnis juga mempengaruhi, si suami Batak dan yang perempuan adalah Jawa yang halus.
Menikah itu rumit sebenarnya, jika tidak tujuannya apa. Tapi kalau tujuannya ingin ke surga, maka semua masalah akan dilewati dengan mudah. Singkat cerita, awalnya suaminya punya karir cemerlang sebagai peneliti di universitas top. Kemudian dia berkenalan dengan temannya orang Malaysia dan kemudian memutuskan menjadi pengusaha saja. Sang lelaki beranggapan jika dia tetap menjadi peneliti, maka peluangnya menjadi orang kaya menjadi kecil, bagaimana bisa membahagiakan keluarga besarnya yang hidup susah di kampung.
Mulai lah sang lelaki bekerja sebagai pengusaha, sering ke luar kota mencari barang untuk diekspor ke sejumlah negara. Saya lihat istrinya sangat mendukung, ditengah kesibukan bekerja membantu suaminya mempersiapkan dokumen apa saja yang dibutuhkan. Setahun dua tahun, semuanya berjalan lancar, rejeki mengalir, kebeli mobil dan juga suaminya membantu mewujudkan mimpi sang istri pergi ke Amerika.
Namun siapa sangka, ditahun ketiga, usahanya goyang. Tak ada lagi permintaan ekspor. Sang suami kaget bukan kepalang. Usaha distronya di kampung halaman pun sepi. Ia tak menyangka. Mau tak mau numpang hidup sama istrinya, yang sebenarnya gajinya pas-pasan. Habis bayar cicilan rumah dan juga sewa kontrakan. Sang suaminya juga milih-milih pekerjaan. Kadang dia ngUBER, kadang juga enggak. Saya tak pernah mendapat cerita dari sang suami, karena saya lebih kenal istrinya. Yang pastinya, sang suami pasti ada alasan mengapa melakukan semua itu.
Kata sang istri, suaminya marah-marah melulu. Minta ini itu, padahal biaya hidup ditanggung oleh istrinya, kehidupan seksnya juga buruk. Habis dah. Tapi saya perlu garisbawahi, sering terjadi perempuan dengan posisi lebih baik dari lelaki, terkadang merasa berada di atas angin.
Saya ingat ketika dalam perjalanan Bandung-Jakarta, sopir bis yang membawa kami cerita anaknya mau cerai dari suaminya. Alasannya, karena enggak ada kecocokan. Padahal sebenarnya karena suaminya hanya satpam biasa, sementara karir istrinya menanjak naik di perusahaan swasta.
Begitu juga dengan teman saya yang mau cerai ini, dia baru pindah ke perusahaan baru, yang lebih longgar aturannya dan juga lebih banyak penghasilan yang didapat. Saya merasa sejak dia pindah perusahaan, dia menjadi pongah, merasa uang adalah segalanya. Realistis boleh, tetapi seperti tidak punya tidak punya Tuhan saja. Masa apa-apa diukur uang.
Saya pun harus berkomitmen pada diri sendiri, saya bilang ke suami untuk berhenti saja jika tidak bisa pindah ke Jakarta. Sekarang suami kerja jauh dari anak dan istri. Saya bilang terlalu berisiko mengorbankan waktu bersama keluarga hanya untuk rupiah. Saya juga menyadari saya kehilangan potensi rupiah, jika suami menyetujui. Tak apa, asalkan dekat dengan keluarga. Waktu tak akan bisa digantikan oleh uang apapun dan saya pun berjanji tidak akan pongah. Semoga Alloh SWT mempermudah semuanya. Aamiin.
Meski saya berjenis kelamin perempuan terkadang saya merasa jengah juga dengan makhluk bernama perempuan. Makanya saya tidak menikah dengan perempuan, tetapi lelaki. hehe
Sebenarnya ini ungkapan kekecewaan saya, terhadap sahabat saya yang menggugat cerai suaminya. Sebut saja namanya Melati. Melati sudah menikah dengan suaminya sejak 2013. Lumayan lama, sudah punya rumah di kota asalnya dan juga kendaraan. Bisa dikatakan akar muasalnya perceraiannya karena masalah ekonomi. Yah masalah ekonomi. Si perempuan merasa lelah menjadi tulang punggung, sementara si lelaki enak-enak saja berada di kontrakan tidur-tiduran dan kemudian marah-marah. Perbedaan etnis juga mempengaruhi, si suami Batak dan yang perempuan adalah Jawa yang halus.
Menikah itu rumit sebenarnya, jika tidak tujuannya apa. Tapi kalau tujuannya ingin ke surga, maka semua masalah akan dilewati dengan mudah. Singkat cerita, awalnya suaminya punya karir cemerlang sebagai peneliti di universitas top. Kemudian dia berkenalan dengan temannya orang Malaysia dan kemudian memutuskan menjadi pengusaha saja. Sang lelaki beranggapan jika dia tetap menjadi peneliti, maka peluangnya menjadi orang kaya menjadi kecil, bagaimana bisa membahagiakan keluarga besarnya yang hidup susah di kampung.
Mulai lah sang lelaki bekerja sebagai pengusaha, sering ke luar kota mencari barang untuk diekspor ke sejumlah negara. Saya lihat istrinya sangat mendukung, ditengah kesibukan bekerja membantu suaminya mempersiapkan dokumen apa saja yang dibutuhkan. Setahun dua tahun, semuanya berjalan lancar, rejeki mengalir, kebeli mobil dan juga suaminya membantu mewujudkan mimpi sang istri pergi ke Amerika.
Namun siapa sangka, ditahun ketiga, usahanya goyang. Tak ada lagi permintaan ekspor. Sang suami kaget bukan kepalang. Usaha distronya di kampung halaman pun sepi. Ia tak menyangka. Mau tak mau numpang hidup sama istrinya, yang sebenarnya gajinya pas-pasan. Habis bayar cicilan rumah dan juga sewa kontrakan. Sang suaminya juga milih-milih pekerjaan. Kadang dia ngUBER, kadang juga enggak. Saya tak pernah mendapat cerita dari sang suami, karena saya lebih kenal istrinya. Yang pastinya, sang suami pasti ada alasan mengapa melakukan semua itu.
Kata sang istri, suaminya marah-marah melulu. Minta ini itu, padahal biaya hidup ditanggung oleh istrinya, kehidupan seksnya juga buruk. Habis dah. Tapi saya perlu garisbawahi, sering terjadi perempuan dengan posisi lebih baik dari lelaki, terkadang merasa berada di atas angin.
Saya ingat ketika dalam perjalanan Bandung-Jakarta, sopir bis yang membawa kami cerita anaknya mau cerai dari suaminya. Alasannya, karena enggak ada kecocokan. Padahal sebenarnya karena suaminya hanya satpam biasa, sementara karir istrinya menanjak naik di perusahaan swasta.
Begitu juga dengan teman saya yang mau cerai ini, dia baru pindah ke perusahaan baru, yang lebih longgar aturannya dan juga lebih banyak penghasilan yang didapat. Saya merasa sejak dia pindah perusahaan, dia menjadi pongah, merasa uang adalah segalanya. Realistis boleh, tetapi seperti tidak punya tidak punya Tuhan saja. Masa apa-apa diukur uang.
Saya pun harus berkomitmen pada diri sendiri, saya bilang ke suami untuk berhenti saja jika tidak bisa pindah ke Jakarta. Sekarang suami kerja jauh dari anak dan istri. Saya bilang terlalu berisiko mengorbankan waktu bersama keluarga hanya untuk rupiah. Saya juga menyadari saya kehilangan potensi rupiah, jika suami menyetujui. Tak apa, asalkan dekat dengan keluarga. Waktu tak akan bisa digantikan oleh uang apapun dan saya pun berjanji tidak akan pongah. Semoga Alloh SWT mempermudah semuanya. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar